Penanganan penyakit rematik dan
osteoporosis terutama ditujukan untuk menyembuhkan penyakit mencegah
perkembangan menjadi lebih parah, mengurangi kecacatan, mengurangi risiko
terjadinya penyakit lain, mengurangi angka kematian serta meningkatkan kualitas
hidup dengan mengurangi nyeri. Seringkali pengobatan penyakit rematik
membutuhkan jangka waktu panjang, sehingga dibutuhkan penerimaan, pemahaman,
dukungan serta kesabaran dari pasien, keluarga, lingkungan, maupun petugas
medis maupun non medis yang merawat.
Pengobatan penyakit rematik dapat
dilakukan dengan menggunakan cara non farmakologis (tanpa obat) dan
farmakologis (dengan obat). Pengobatan
secara non farmakologis penyakit rematik meliputi modifikasi gaya hidup yaitu
dengan mengatur berat badan, olahraga yang teratur dan sesuai yang dapat menunda berkembangnya penyakit mengurangi gejala
sakit dan edukasi mengenai penyakit rematik yang diderita. Pengobatan
farmakologis penyakit rematik seringkali menggunakan obat anti radang atau
dalam istilah medis disebut obat anti inflamasi, obat untuk memodifikasi
kekebalan tubuh, maupun obat tambahan lain.
A. Obat anti inflamasi dibedakan menjadi
golongan steroid dan nonsteroid.
Terdapat banyak efek samping yang ditemukan
pada penggunaan obat anti inflamasi steroid maupun anti inflamasi non steroid
(OAINS). Penggunaan steroid jangka panjang dapat mempertinggi resiko terjadinya
osteoporosis, gangguan hormonal, bahkan gangguan system kekebalan tubuh. Bukti
– bukti penelitian juga menunjukkan penggunaan OAINS dalam jangka waktu lama
terutama pada orang tua, terbukti mempunyai efek samping yang serius seperti
gangguan fungsi hati, ginjal, sumsum tulang, perdarahan saluran cerna, serangan
jantung bahkan stroke.
Berbagai
macam usaha telah dicoba untuk mengurangi terjadinya efek samping namun efek
samping tersebut masih saja terjadi walaupun jumlahnya berkurang . Hal ini
justru menambah biaya pengobatan dan mengurangi kualitas hidup sang pasien.
Mengingat efek samping yang banyak dan biaya yang tinggi untuk pengobatan
penyakit rematik, maka diperlukan pengembangan obat yang efektif, efek samping
sedikit, serta dapat dijangkau oleh masyarakat. Negara maju sekalipun sampai
kini masih mengkhawatirkan tentang efek samping penggunaan obat sintetik,
sehingga ada kecenderungan beralih pada pengobatan alami.
B. Pengembangan Obat Bahan Alam
Penggunaan bahan alam untuk
mengobati penyakit sudah ribuan tahun diterapkan oleh masyarakat luas, baik di
Indonesia maupun di Negara lain. Obat bahan ala mini meliputi obat-obatan yang
berasal dari hewan maupun tumbuhan. Obat bahan alam dari tumbuh-tumbuhan
seringkali disebut obat herbal. Indonesia termasuk dalam Negara-negara tropis
dengan keanekaragaman hayati daratan maupun lautan, sehingga merupakan ladang
bahan baku bagi penelitian obat-obat herbal. Sebanyak 7000 spesies tanaman di
Indonesi digunakan masyarakat sebagai obat.
Sebanyak 59.12% penduduk Indonesia,
yang terdapat pada semua kelompok umur, laki-laki dan perempuan, baik di
pedesaan maupun perkotaan, pernah mengkonsumsi jamu. Prosentase penggunaan
tanaman obat berturut-turut adalah jage (50,36%), diikuti kencur (48,77%),
temulawak (39,65%), meniran (13,93%) dan pace (11,17%). Selain tanaman obat di
atas, sebanyak 72,51% menggunakan tanaman obat jenis lain. Bentuk sediaan jamu
yang paling disukai penduduk adalah cairan, diikuti seduhan/serbuk,
rebusan/rajangan, dan bentuk kapsul/pil/tablet. Penduduk Indonesia yang
mengkonsumsi jamu sebanyak 95,60% merasakan manfaatnya pada semua kelompok umur
dan status ekonomi, baik di pedesaan maupun perkotaan.
Pengembangan dan penelitian obat
tradisional (terutama herbal) sejalan dengan kebutuhan pasar nasional yang
mulai member perhatian besar pada obat tradisional sesuai hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional. Obat bahan alam di Indonesia dikembangkan melalui berbagai
macam tahapan, sesuai dengan perkembangan terapi farmakologis. Saat ini,
Indonesia mengembangkan tiga jenis pengobatan herbal. Jenis pertama adalah
jamu, jenis kedua adalah obat herbal terstandar, dan jenis ketiga adalah
fitofarmaka. Disinilah peran penelitian dan pengkajian, baik mengenal khasiat,
efek samping, legalitas maupun pemasaran obat herbal.
Penelitian obat tradisional di
Indonesia banyak dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Di
Yogyakarta, penelitian tersebut dilakukan oleh Sentra Pengembangan dan
Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Tim
Pengembangan Obat Bahan Alam di RS. Sardjito Yogyakarta.
C. Ramuan Ekstrak Temulawak, Jahe,
Kedelai dan Kulit Udang untuk Penyakit Rematik dan Osteoporosis
Kedelai mempunyai
kandungan isoflavon yang mampu menghambat kerusakan tulang rawna pada penyakit
osteoarthritis. Kulit udang mengandung glukosamin, kondroitin dan kitosan yang
merupakan bahan untuk pembentukan tulang rawan, diharapkan kedua bahan ini
mampu berperan dalam memperbaiki kondisi kerusakan tulang rawan pada penyakit
osteoarthritis.